Pembahasan Tuntas Kurang dari Sebulan, Revisi Perda PWA Diketok Palu DPRD Bali, Ada 12 Perubahan

2 days ago 2
ARTICLE AD BOX
DENPASAR, NusaBali
Revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pungutan bagi Wisatawan Asing (PWA) untuk Pelindungan Kebudayaan dan Lingkungan Alam Bali disetujui DPRD Bali. Sebanyak 39 anggota DPRD Bali menyetujui ‘ketok palu’ perubahan Perda tersebut dalam Rapat Paripurna DPRD Bali yang dipimpin Ketua DPRD Bali Dewa Made Mahayadnya alias Dewa Jack dan disaksikan Gubernur Bali Wayan Koster ini.

Persetujuan itu diapresiasi oleh Gubernur Bali Wayan Koster karena menunjukkan komitmen luar biasa dari DPRD Bali yang berhasil menuntaskan pembahasan revisi perda hanya dalam waktu kurang dari satu bulan. Menanggapi hal itu, Ketua DPRD Bali Dewa Made Mahayadnya alias Dewa Jack mengatakan percepatan tersebut bukan karena ingin mengejar waktu, melainkan didorong oleh kebutuhan strategis daerah. 

“Sebenarnya bukan kebut mengebut. Ini kan kebutuhan kita. Jadi, tahun ini kalau kita bisa percepat, masih ada proses di Kementerian Dalam Negeri, bisa kita percepat lagi, kayak jet, tahun ini kita sudah bisa berlakukan,” ujar Dewa Jack kepada awak media usai paripurna. Ia juga menerangkan, percepatan pembahasan ini penting karena momentum penerapan bisa dimulai pada musim ramai wisatawan (high season) di bulan Juni 2025 nanti. “Kalau mau berlakukan, nanti high season, bulan Juni, kesempatan kita akan meningkatkan pendapatan asli daerah dari pungutan wisatawan asing,” ujarnya. 

Soal potensi penerimaan setelah perda direvisi, Dewa Jack belum bisa menyebut angka pasti karena DPRD belum menerima laporan resmi soal pola kerja sama dan siapa saja pihak yang akan dilibatkan. “Belum, belum sampai ke situ. Karena DPRD juga belum diberi laporan kerja samanya dengan apa dan siapa. Tentu kualitas dari kerja sama juga akan menunjukkan hasil yang lebih baik,” katanya. 

Namun, dari sisi optimisme, Dewa Jack menargetkan peningkatan signifikan terhadap pendapatan dari pungutan ini saat nanti sudah direalisasikan. “Ya kalau hari ini kita bisa di Rp 300 miliar (realisasi 2024), paling tidak dua kali lipatlah ke Rp 600 miliar (target 2025). Paling tidak, ya,” tuturnya.

Sementara Gubernur Koster sebelumnya menekankan bahwa penguatan regulasi ini dibutuhkan untuk memastikan penyelenggaraan pungutan berjalan lebih efektif, adil, transparan, dan memberi dampak nyata terhadap keberlanjutan Bali sebagai destinasi pariwisata budaya. Perda yang telah direvisi ini juga menjadi jaminan hukum bahwa setiap wisatawan asing berkontribusi langsung terhadap pelindungan Bali secara menyeluruh.

Ketua Koordinator Pembahasan Ranperda DPRD Bali, Gede Kusuma Putra, dalam laporan akhirnya menyampaikan revisi ini mencakup 12 perubahan penting. Ia menegaskan perubahan ini bukan hanya bersifat teknis administratif, namun juga menyentuh filosofi dasar pengelolaan pariwisata budaya Bali. “Pungutan bagi wisatawan asing merupakan sumber pendanaan untuk pelindungan kebudayaan dan lingkungan alam Bali dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat,” ujar Wakil Ketua Komisi II DPRD Bali ini.

Adapun perubahan yang disampaikan itu; Pertama, perubahan dimulai dengan penambahan definisi baru tentang imbal jasa dalam pasal 1. Imbal jasa didefinisikan sebagai kompensasi berupa uang yang diberikan kepada pihak-pihak tertentu atas jasanya dalam penyelenggaraan pungutan wisatawan asing. Kedua, ruang lingkup Perda diperluas. Pasal 4 kini tidak hanya mengatur tentang pungutan dan pelindungan budaya serta lingkungan, tetapi juga mencakup peningkatan kualitas pelayanan kepariwisataan budaya Bali, manfaat untuk wisatawan asing, kerja sama, imbal jasa, pembinaan dan pengawasan, serta peran serta masyarakat.

Ketiga, pasal baru 4A ditambahkan untuk mengatur pengecualian terhadap pungutan. 

Wisatawan asing tetap wajib membayar pungutan sebesar Rp150.000, kecuali mereka yang memegang visa diplomatik, visa dinas, KITAS, KITAP, visa pelajar, visa keluarga, golden visa, kru alat angkut, dan visa lainnya yang memiliki kemanfaatan strategis untuk pembangunan Bali atau Indonesia. Ketentuan lebih lanjut akan diatur melalui Peraturan Gubernur.

Keempat, pasal 5 diperkuat untuk menegaskan bahwa pungutan dibayarkan secara nontunai melalui e-payment, sebelum atau selama wisatawan berada di Bali. Bukti pembayaran akan diberikan dalam bentuk elektronik atau tanda resmi dari pemerintah. Kelima, pasal 6 memastikan kewajiban membayar pungutan tetap berlaku bagi wisatawan yang belum bisa menunjukkan bukti pembayaran. Keenam, pasal 7 menjelaskan bahwa hasil pungutan akan dimasukkan ke dalam pos lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah. Penggunaannya tidak hanya untuk pelindungan budaya dan lingkungan alam, tetapi juga untuk peningkatan pelayanan kepariwisataan dan pembiayaan penyelenggaraan pungutan itu sendiri. Pengelolaannya harus transparan, akuntabel, tepat sasaran, dan bebas dari korupsi. 

Ketujuh, judul BAB IV diubah menjadi “Pelindungan Kebudayaan dan Lingkungan Alam, serta Peningkatan Kualitas Pelayanan dan Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali”, sebagai penegasan misi keberlanjutan dari pungutan ini. Kedelapan, pasal 10A disisipkan untuk memperjelas bahwa dana pungutan juga digunakan dalam peningkatan kualitas destinasi pariwisata, industri pariwisata, pemasaran pariwisata, dan kelembagaan kepariwisataan budaya.

Kesembilan, ditambahkan dua bab baru yaitu BAB VA dan BAB VB yang mengatur kerja sama dan imbal jasa. 

Ini memungkinkan Pemerintah Provinsi Bali menjalin kemitraan dengan pihak lain dalam pengelolaan pungutan, baik sebagai agen pemungut maupun sebagai mitra pelaksana. Kesepuluh, pasal 13A dan 13B merinci bentuk kerja sama dan besaran imbal jasa. Mitra manfaat dan endpoint akan memperoleh kompensasi maksimal 3 persen dari total transaksi pungutan, dan ketentuan teknisnya diatur dalam Peraturan Gubernur.

Kesebelas, bab baru VIIIA dan pasal 16A ditambahkan untuk mengatur sanksi administratif. Wisatawan yang melanggar ketentuan akan dikenai sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis, bahkan dapat dikenakan pembatasan pelayanan di daya tarik wisata. Keduabelas, pasal 16A memperkuat dasar hukum pemberian sanksi administratif, yang pelaksanaannya akan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Kusuma Putra, revisi ini sangat penting untuk memberikan kejelasan aturan dan efektivitas implementasi di lapangan. "Perubahan pada Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2023 dilakukan menyangkut ruang lingkup, substansi pengecualian, penggunaan hasil pungutan, kerja sama, imbal jasa, dan sanksi administratif,” tandasnya.

Ranperda ini dibahas melalui serangkaian tahapan bersama perangkat daerah terkait, termasuk Dinas Pariwisata, Dinas Kominfos, Bappeda, Bapenda, dan Biro Hukum Provinsi Bali. Rapat koordinasi dan konsultasi digelar pada 27 Maret dan 14 April 2025. DPRD Bali pun sepakat untuk menetapkan Ranperda ini menjadi Peraturan Daerah (Perda), dan meminta agar Gubernur Bali segera menindaklanjuti melalui regulasi teknis pelaksanaannya. “Setelah melalui seluruh pentahapan yang disyaratkan, maka kami sepakat untuk menetapkan Ranperda ini menjadi Perda dan untuk itu dapat ditindaklanjuti dengan proses berikutnya,” tutup Kusuma Putra. 7 t
Read Entire Article