Buku-buku ‘Berat’ Prof Yudha Triguna

1 week ago 2
ARTICLE AD BOX
Tiga buku yang diluncurkan masing-masing berjudul Makro Humaniora, Ritus: Ketahanan Budaya dalam Dinamika Peradaban, dan Meneroka Teori Kritis: Dari Filsafat Marxisme hingga Teori Ras. Kegiatan ini turut dihadiri oleh Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI Prof Dr I Nengah Duija MHum, Rektor UNHI Prof Dr drh I Made Damriyasa MS, Dekan FIASB Prof Dr I Ketut Suda MHum, serta para guru besar, dosen, dan alumni Program Doktor UNHI.

Ketiga buku ini tak hanya sarat teori, tetapi juga sarat makna. Dalam pemaparannya, Guru Besar bidang Sosiologi Agama di UNHI ini mengakui bahwa buku-buku tersebut tergolong ‘berat’ baik dari sisi konsep maupun bahasa, karena memang ditujukan bagi kalangan akademisi tingkat doktoral (S3). “Buku ini berat. Dari kata pengantar saja sudah agak berat. Memang tipikal kami bertiga itu (Prof Yudha bersama Prof Dr Drs Wayan Paramartha SH MPd dan Prof Dr I Gusti Ayu Suasthi MSi, Red) agak berat,” ungkapnya saat ditemui di akhir acara, Rabu kemarin. 

Ia menjelaskan, sasaran utama dari buku ini adalah mahasiswa S3 yang sedang mendalami teori dan pendekatan lintas disiplin. Penguatan konsep dan penguatan teori menjadi fokus utama untuk membantu mahasiswa meneropong data penelitian yang mereka miliki. Karena itulah, katanya, buku ini lebih bersifat umum, makro, dan interdisipliner. Prof Yudha Triguna menyampaikan ketiga buku ini merupakan akumulasi pengalaman akademik dan perenungan lintas dekade dalam mengajar dan mengembangkan gagasan di bidang ilmu budaya, filsafat, dan kemanusiaan. Buku ‘Makro Humaniora’ kata Prof Yudha yang ditulis bersama Prof Dr Drs Wayan Paramartha SH MPd dan Prof Dr I Gusti Ayu Suasthi MSi adalah pendekatan lintas disiplin yang menjembatani sains, seni, teknologi, filsafat, dan nilai-nilai kemanusiaan secara holistik. 

Prof Dr Ida Bagus Gde Yudha Triguna MS. –ADI PUTRA 

“Makro humaniora berbeda dengan mikro humanisme. Ia tidak hanya menyoroti individu, tetapi melihat manusia dalam jejaring besar masyarakat, alam, dan kosmos,” jelas President of International Culture Centre Studies (ICCS) Indonesia dari tahun 2016 sampai sekarang ini. Buku ini lahir dari pengalaman mengajar mata kuliah Makro Humaniora di Program Doktor UNHI selama lebih dari 10 tahun. 

Pendekatan ini ditawarkan untuk mengatasi fragmentasi dalam cara kita memahami ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia di tengah dinamika peradaban. Materi buku ini telah ia kumpulkan sejak tahun 1986 dan sempat dirangkum dalam buku Mengenal Teori-Teori Pembangunan (2000), yang memuat pemikiran tokoh-tokoh seperti Denis Goulet, Ivan Illich, Meadows (Club of Rome), Paulo Freire, Johan Galtung, Gandhi, dan Erich Fromm.

Sementara itu, dalam buku kedua ‘Ritus: Ketahanan Budaya dalam Dinamika Peradaban,’ yang ditulis bersama Prof Dr Ida Ayu Komang Arniati MAg dan Dr Ida Ayu Ketut Surya Wahyuni MSi, Prof Yudha mengupas peran penting ritus dalam menjaga nilai-nilai budaya dan identitas komunitas. Prof Yudha menyampaikan bahwa ritus merupakan bagian integral dari kehidupan manusia yang menghubungkan individu dengan tradisi, spiritualitas, dan ketahanan budaya di tengah perubahan global. 

Ia menegaskan ritus bukan hanya tradisi, melainkan cara manusia menghubungkan kehidupan jasmani dan rohani, duniawi dan ilahi. “Ritus adalah ruang keseimbangan antara tradisi dan modernitas, antara individu dan komunitas, yang menciptakan waktu dan ruang suci di tengah dunia profan,” ujar Prof Yudha yang juga pernah menjabat Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI selama hampir sembilan tahun (2000-an hingga awal 2010-an), mengutip pemikiran tokoh seperti Mircea Eliade, Victor Turner, dan Joseph Campbell.

Gagasan ini, kata Prof Yudha, berakar dari pengalaman sejak menjadi asisten dosen mata kuliah Sistem Religi di Jurusan Antropologi Universitas Udayana sejak 1981, hingga mengajar Teori Sosial Budaya dan Agama selama hampir 25 tahun. Ia juga menyebut Kongres Kebudayaan Bali 2024 sebagai salah satu momen yang mendorongnya menuliskan gagasan-gagasan tentang ritus yang selama ini belum sempat dituangkan dalam bentuk buku.

Adapun buku ketiga ‘Meneroka Teori Kritis’ ditulisnya sendiri. Prof Yudha membahas tentang teori kritis sebagai pendekatan dalam ilmu sosial yang bertujuan mengkritik dan menantang struktur sosial yang tidak adil, serta menggali cara untuk mentransformasinya. Teori kritis dikupas dari berbagai sumber besar pemikiran.

Bagian awal buku membahas filsafat Kant dan Hegel tentang rasionalitas, otonomi individu, kritik nalar, hingga metode dialektika. Lalu dilanjutkan dengan Marxisme, dengan konsep infrastruktur-superstruktur, alienasi, kesadaran palsu, dan perjuangan kelas. “Teori kritis adalah alat untuk menggugat ketimpangan dan menantang narasi dominan dalam masyarakat. Buku ini adalah undangan untuk berpikir ulang, bukan sekadar menghafal teori,” tegas Prof Yudha yang juga sempat menjadi anggota DPRD Provinsi Bali pada periode 1999–2001, namun mengundurkan diri karena memilih kembali ke jalur dosen dan birokrat pendidikan..

Dalam buku ini, ia memaparkan bagaimana pemikiran-pemikiran seperti rasionalitas dalam birokrasi Weberian, konsep ketidaksadaran dalam psikoanalisis, hingga struktur dan diskursus dalam post-strukturalisme berperan dalam membentuk kerangka berpikir yang lebih kritis dan reflektif. Ketiga buku ini ditulis sebagai bentuk bhakti akademik kepada leluhur, guru, sahabat, dan mahasiswa, serta sebagai dedikasi dalam membangun nalar kritis yang berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Prof Yudha menegaskan buku ini juga terbuka untuk kritik dan saran dari para pembaca demi penyempurnaan di masa mendatang.

Untuk diketahui, dalam lima tahun terakhir, Prof Yudha yang sejak 1981 telah menjadi asisten dosen mata kuliah Sistem Religi di Jurusan Antropologi Universitas Udayana ini sudah menghasilkan lebih dari 20 karya ilmiah serta lebih dari 300 kali menjadi pembicara seminar, pelatihan, dan dharma wacana. Sosok kelahiran Wanasari, Tabanan, 17 April 1958 ini juga aktif menyebarkan gagasan sosial-keagamaan Hindu melalui kanal YouTube ‘Yudha Triguna Channel’ dengan lebih dari 4.300 subscriber.

Lebih jauh, Prof Yudha menyampaikan bahwa dorongan utama menulis buku ini adalah mendorong terhadap minimnya tradisi menulis di kalangan dosen. Ia menolak anggapan bahwa menjelang masa pensiun seorang akademisi tidak lagi produktif. “Saya tiga tahun lagi pensiun, tapi saya kira tidak perlu merasa nyerah dulu. Selama masih sehat, masih diberi kekuatan berpikir, pengalaman mengajar dan membaca buku itu harus dituangkan,” tegas pria yang menempuh pendidikan Sarjana Muda Jurusan Antropologi di Universitas Udayana (1980) ini.

Ketiga buku yang diluncurkannya ini merupakan hasil dari pengalaman panjangnya dalam mengajar. Ia berharap, meski hanya setitik, karya ini bisa menjadi suluh kecil bagi mahasiswa, dosen, dan siapa pun yang ingin memahami istilah-istilah dalam kajian humaniora dan teori sosial. “Mudah-mudahan yang setitik ini bisa menjadi pelita bagi mereka yang belum membaca, menjadi pelita bagi mereka yang sama sekali belum pernah mendengar istilah-istilah,” pungkas Sarjana Antropologi di Universitas Indonesia dan Universitas Udayana (1983) ini. 7 t
Read Entire Article