ARTICLE AD BOX
BPS Provinsi Bali mencatat, ekspor komoditas perikanan seperti ikan, krustasea dan moluska dari Bali mencapai nilai 14,46 juta dolar AS atau setara Rp 233 miliar lebih pada Maret 2025. Ekspor perikanan masih jadi penyumbang terbesar ekonomi Bali dari lini ekspor.
Sayangnya, produsen komoditas perikanan yakni sektor perikanan tangkap tidak semanis angka di atas kertas. FE, seorang AKP perusahaan kapal penangkapan ikan yang beroperasi di Pelabuhan Benoa, Denpasar mengungkap sisi gelap dunia kerjanya.
FE yang merantau dari Jawa Barat sudah bekerja selama lima tahun sebagai AKP. Ia menilai situasi dan kondisi dunia kerja di atas kapal bagai bumi dan langit jika dibandingkan dunia kerja di daratan.
“Di atas kapal itu kami kadang bekerja selama 24 jam dengan upah dibawah minimum dan tanpa jaminan keselamatan,” beber FE saat melakukan aksi Hari Buruh bersama Aliansi Perjuangan Rakyat Bali di Puspem Badung, Rabu (30/4/2025).
FE mengaku hanya digaji Rp 80.000 sampai Rp 90.000 per hari tanpa adanya ketentuan lembur. Tidak sebanding dengan risiko keselamatan dan kesehatan yang dihadapi pekerja di atas kapal.
Selain itu, kekerasan dan perundungan disebut sudah menjadi hal biasa di atas kapal antar sesama AKP maupun seniornya. FE mengaku bahwa kalau melapor ke kapten kapal, justru ia akan mendapat perlakukan kekerasan.
“Kalau mau memberontak atau melapor kepada kapten, kita bisa kena pukul atau aniaya kekerasan,” ungkapnya sembari menegaskan bahwa akses komunikasi di tengah laut sangat terbatas, sehingga niat mengadu menjadi percuma.
FE juga menuturkan, akses terhadap fasilitas kesehatan pun terbatas dan bahkan tidak ada, terutama obat-obatan bagi AKP yang sakit. “Kadang ada yang kena stroke atau apa, obat-obatan sangat minum,” lanjutnya.
Apa yang disuarakan FE pun dibenarkan Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Bali Ida I Dewa Made Rai Budi Darsana yang mengkoordinir aksi Hari Buruh di Puspem Badung, Rabu lalu.
“Sebenarnya itu realita. Tetapi sulit, mereka tidak berani membuat aduan. Mereka sudah menyuarakan ini, mudah-mudahan ada tindak lanjut ke depannya,” tegas Dewa Rai kepada NusaBali.com.
Kondisi memprihatinkan para AKP ini memang menjadi ironi sektor andalan ekspor RI dan khususnya Bali. Kesejahteraan dan perlindungan terhadap AKP menjadi salah satu dari 19 poin tuntutan Hari Buruh.
RI merupakan salah satu negara yang belum meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional PBB (ILO) Nomor 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Konvensi yang dideklarasikan 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss ini mendukung AKP dipekerjakan dengan layak dan terjamin.
Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto telah melempar janji bahwa RI akan segera meratifikasi Konvensi ILO tersebut di hadapan buruh dalam perayaan Hari Buruh, Kamis (1/5/2025) lalu, di Jakarta. *rat
Sayangnya, produsen komoditas perikanan yakni sektor perikanan tangkap tidak semanis angka di atas kertas. FE, seorang AKP perusahaan kapal penangkapan ikan yang beroperasi di Pelabuhan Benoa, Denpasar mengungkap sisi gelap dunia kerjanya.
FE yang merantau dari Jawa Barat sudah bekerja selama lima tahun sebagai AKP. Ia menilai situasi dan kondisi dunia kerja di atas kapal bagai bumi dan langit jika dibandingkan dunia kerja di daratan.
“Di atas kapal itu kami kadang bekerja selama 24 jam dengan upah dibawah minimum dan tanpa jaminan keselamatan,” beber FE saat melakukan aksi Hari Buruh bersama Aliansi Perjuangan Rakyat Bali di Puspem Badung, Rabu (30/4/2025).
FE mengaku hanya digaji Rp 80.000 sampai Rp 90.000 per hari tanpa adanya ketentuan lembur. Tidak sebanding dengan risiko keselamatan dan kesehatan yang dihadapi pekerja di atas kapal.
Selain itu, kekerasan dan perundungan disebut sudah menjadi hal biasa di atas kapal antar sesama AKP maupun seniornya. FE mengaku bahwa kalau melapor ke kapten kapal, justru ia akan mendapat perlakukan kekerasan.
“Kalau mau memberontak atau melapor kepada kapten, kita bisa kena pukul atau aniaya kekerasan,” ungkapnya sembari menegaskan bahwa akses komunikasi di tengah laut sangat terbatas, sehingga niat mengadu menjadi percuma.
FE juga menuturkan, akses terhadap fasilitas kesehatan pun terbatas dan bahkan tidak ada, terutama obat-obatan bagi AKP yang sakit. “Kadang ada yang kena stroke atau apa, obat-obatan sangat minum,” lanjutnya.
Apa yang disuarakan FE pun dibenarkan Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Bali Ida I Dewa Made Rai Budi Darsana yang mengkoordinir aksi Hari Buruh di Puspem Badung, Rabu lalu.
“Sebenarnya itu realita. Tetapi sulit, mereka tidak berani membuat aduan. Mereka sudah menyuarakan ini, mudah-mudahan ada tindak lanjut ke depannya,” tegas Dewa Rai kepada NusaBali.com.
Kondisi memprihatinkan para AKP ini memang menjadi ironi sektor andalan ekspor RI dan khususnya Bali. Kesejahteraan dan perlindungan terhadap AKP menjadi salah satu dari 19 poin tuntutan Hari Buruh.
RI merupakan salah satu negara yang belum meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional PBB (ILO) Nomor 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Konvensi yang dideklarasikan 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss ini mendukung AKP dipekerjakan dengan layak dan terjamin.
Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto telah melempar janji bahwa RI akan segera meratifikasi Konvensi ILO tersebut di hadapan buruh dalam perayaan Hari Buruh, Kamis (1/5/2025) lalu, di Jakarta. *rat