Melihat Uniknya Sinkretisme Hindu-Buddha di Cetiya Siwa-Buddha Dharma Mahayana Denpasar (1)

22 hours ago 2
ARTICLE AD BOX
DENPASAR, NusaBali - Sinkretisme atau perpaduan tradisi Hindu dan Buddha bukanlah hal baru, namun merupakan warisan sejarah Nusantara. Praktiknya masih dapat ditemui hingga masa sekarang di tengah-tengah Kota Denpasar, tepatnya di Cetiya Siwa-Buddha Dharma Mahayana.

Cetiya atau vihara kecil ini terletak di Jalan Puputan II Nomor 45, Desa Sumerta Kelod, Denpasar. Lokasinya sangat strategis yakni masih satu kawasan dengan Taman Janggan. Dari luar cetiya, perpaduan tradisi Hindu-Buddha pun sudah sangat terasa. Tampak penjor dari Hari Raya Galungan yang masih terpasang di pintu masuk cetiya. Ada pula patung Guan Shi Yin Pu Sa atau Dewi Kwan Im berwarna emas raksasa yang terlihat dari Jalan Puputan II. 

Begitu masuk ke area cetiya, siapa saja yang berkunjung akan disambut patung Ganesha. Lebih masuk ke dalam, terlihat bangunan cetiya bernuansa merah sederhana beratap arsitektur Bali dengan patung singa oriental dan lima patung Buddha emas di depannya. 

Di sisi timur laut, berdiri Palinggih Padmasana. Kemudian di sisi kanannya terdapat Palinggih Gedong Suci tempat berstananya Ida Bhatara Lingsir Puncak Mundi, Siwa Buddha, dan Ida Bhatari Ratu Niang. Di depan palinggih tersebut juga terdapat Lingga Yoni yang merupakan simbol Siwaisme. Di sisi selatan area cetiya, terdapat kolam dengan patung raksasa Dewi Kwan Im setinggi sekitar tujuh meter. Pada sisi kiri kolam Bodhisattva yang juga dikenal dengan sebutan Avalokiteśvara tersebut, terdapat Palinggih Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Ped. Pemilik Cetiya Siwa-Buddha Dharma Mahayana I Gusti Agung Dian Purnama Suwela,51, menuturkan bahwa cetiya ini merupakan peninggalan almarhum sang suami Tjan Yung Sen (Candra Wijaya). 

Ia adalah seorang Tionghoa asal Amlapura, Karangasem yang sudah berpulang tahun 2021 silam. “Cetiya ini dibangun tahun 2004 oleh almarhum suami saya karena beliau mendapat wangsit leluhur. Kemudian, cetiya itu berkembang menjadi pusat rohani yang bersifat sinkretik, ada tradisi Siwa dari Hindu, Buddha Mahayana, dan ada juga Tri Dharmanya,” beber Agung Dian kepada NusaBali, Senin (12/5/2025) malam. 

Kata Agung Dian, sinkretisme yang terjadi di Cetiya Siwa-Buddha Dharma Mahayana ini didorong oleh latar belakang Alm Candra Wijaya. Sebagai seorang Tionghoa, ia lahir di lingkungan dengan akar spiritual Tri Dharma (Buddha, Tao, dan Konghucu). Namun sebagai ‘orang Bali,’ ia juga tidak jauh dari tradisi Hindu Bali yang berakar dari Siwaisme. 

“Semasa hidup, beliau dikenal sebagai spiritualis dengan kemampuan penyembuhan dan pembacaan energi. Dari sana, cetiya ini berkembang dan pihak-pihak yang dianugerahi kesembuhan setelah healing di sini tetap bertahan sampai sekarang,” beber Agung Dian. Dari cetiya yang berfungsi sebagai tempat ibadah pribadi, berkembang menjadi tempat ibadah dengan 50-an umat baik dari kalangan Hindu maupun Tri Dharma. Dan, dikarenakan cetiya ini memiliki altar dan beberapa palinggih, prosesi persembahyangan pun menjadi sebuah demonstrasi toleransi antarumat beragama. 

Seperti momen Waisak, Senin malam, persembahyangan dilakukan bergantian. Persembahyangan dilakukan di dalam cetiya mengikuti tradisi Buddha Mahayana dengan pembacaan sutra-sutra Buddha, biasanya berbahasa Mandarin dan Sanskerta. Kemudian, melakukan Yu Fo atau pemandian rupang Bodhisattva Gautama berwujud anak-anak. 

Di dalam Cetiya Siwa-Buddha Dharma Mahayana terdapat tiga rupang Buddha yang dimuliakan yakni Buddha Sakyamuni (Siddhartha Gautama) di tengah, Buddha Amitabha (Tanah Suci Sukhavati) di kiri, dan Bhaisajyaguru Buddha (Buddha Pengobatan). Selain itu, terdapat pula rupang-rupang Bodhisattva serta dewa-dewi Tri Dharma. “Kami di sini masing-masing punya tanggung jawab. Bagi yang Buddha, menyesuaikan ke Buddha. Bagi yang Hindu, menyesuaikan ke yang Hindu seperti piodalan sekarang ini. Tetapi, kami sama-sama berpartisipasi dan saling menghormati,” ungkap Agung Dian. 

Uniknya, piodalan palinggih di area cetiya dilaksanakan setiap Waisak. Ritual piodalan dipimpin oleh tiga pandita Hindu. Mendekati akhir-akhir prosesi piodalan, digelar pula ritual api homa di depan Palinggih Gedong Suci yang dipimpin tiga pandita Hindu dan juga seorang pandita Buddha Mahayana, serta diikuti komunitas cetiya baik umat Hindu maupun Tri Dharma. 

Romo Antonius Tan dari Majelis Mahayana Indonesia (MAHASI) yang bertugas di Cetiya Siwa-Buddha Dharma Mahayana menuturkan bahwa ajaran Dharma pada prinsipnya dalam kehidupan sehari-hari adalah sama yakni penyucian pikiran, perkataan, dan perbuatan. Jalan yang ditempuh, dalam hal ini prosesi dan ritual, bisa saja berbeda namun tujuan yang ingin dicapai sama. 

“Mungkin ada perbedaan di ujung puncak tujuan akhirnya saja. Semua ritual yang dilakukan baik dari Mahayana maupun Hindu, tujuannya untuk itu, menjadi manusia yang lebih baik setiap harinya,” tutur Romo Antonius, Senin malam. Selain itu, kata pria asal Medan ini, Mahayana merupakan aliran Buddha yang terbuka menerima tradisi setempat. Romo Antonius juga mengungkapkan, Mahayana bahkan menerima keberadaan beberapa dewa yang dikenal dalam Hindu seperti Ganesha/Ganapati (Huān xǐ tiān), Brahma (Dàfàntiān), hingga Siwa/Mahesvara (Dàzìzàitiān). 

Sementara itu, sampai sekarang ini, Cetiya Siwa-Buddha Dharma Mahayana masih melayani umat yang datang. Baik itu umat yang sekadar sembahyang atau hendak memohon sesuatu, dalam hal ini penyembuhan maupun kelancaran usaha sebagaimana di cetiya ini dimuliakan Bhaisajyaguru Buddha dan Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Ped, serta Ida Bhatari Ratu Niang. 7 ol1
Read Entire Article